Pergerakan Islam dan Komunisme, Marxisme di Indonesia

Sudah diketahui bersama bahwa kata komunis merupakan momok bagi sebagian masyarakat Indonesia, Orde Baru seringkali menggunakan kata tersebut untuk menyerang lawan politiknya. Penggunaan kata komunis untuk menjatuhkan lawan politik cukup mereda setelah Reformasi, namun belakangan ini kata komunis kembali ramai digunakan, tentunya dengan tujuan yang sama, yaitu menjatuhkan lawan politik.

Kaum Nasionalis dan Agamis merupakan kelompok terbesar yang sering menggunakan kata tersebut, namun kondisi politik di Indonesia akhir-akhir ini memaksa saya untuk menyoroti penggunaan kata komunis dalam kelompok agamis.

Kaum agamis menyebut lawan politiknya sebagai komunis, dalam pandangan mereka seorang komunis adalah seorang yang bengis dan tak bertuhan, menyebut lawan politiknya dengan sebutan komunis tentunya akan menjadi sebuah keuntungan.

Aksi berjilid-jilid yang mengatasnamakan pergerakan islam makin disorot dan selalu menjadi topik bahasan. Tak perlu heran, bagaimana mungkin aksi semacam itu tidak menjadi bahan sorotan ?

Dua hal diatas, Komunisme dan pergerakan Islam, membuka pikiran saya dan akhirnya menemukan bahwasanya "Pergerakan Islam" sangat erat hubungannya dengan Komunisme. Ironi ? Tentu saja.

Pergerakan Islam di Indonesia dan Komunisme memiliki pola-pola yang serupa, yang pertama adalah Class Consciousness, kalau dalam agama namanya berubah menjadi Religious Consciousness. Yaitu kesadaran diri akan adanya kelas-kelas, kalau dalam Marxisme berupa kelas ekonomi dan sosial, kalau dalam agama berupa grup/kelas antar agama itu sendiri. Pemahaman ini juga berkembang dan muncul propaganda yang menyebutkan bahwasanya selain kelompok dalam grup adalah musuh. Mengerikan bukan ?

Yang kedua adalah Class Struggle. Dalam pandangan kaum Marxis melalui teori konflik yang dipopulerkan Karl Marx menyebutkan bahwasanya di dunia ini akan selalu ada konflik antar kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan ekonomi. Dari sini polanya sudah terlihat serupa, kan ? Hanya saja penyebab konflik antar kelasnya saja yang berbeda. Dalam agama, hal ini biasa dikenal dengan semangat dizolimi, dan sering dipropagandakan pula bahwasanya "kelompok luar" selalu punya tendensi untuk mengancurkan kelompok mereka. "Perjuangan" mereka dengan semangat dizolimi ini hanya bisa berhasil dan mencapai Goal jika ada Class Consciousness dan Class Struggle. Propaganda yang bukan main-main ya ? Hehehe.


Dari hal tersebut maka lahirlah istilah Perpetual Conflicts, konflik yang dengan sengaja terus dijaga dan dipelihara dengan tujuan agar Class Consciousness dan Class Struggle dari kelompok mereka tetap relevan. Dalam Marxisme berupa konflik antar Kaum Proletar dan Borjuis, dalam agama berupa konflik antara Muslim dan Kafir/Munafik.

Maka dari itu, ketika kaum agamis suka teriak-teriak dan menyuarakan anti Marxisme justru malah membuat saya semakin terheran-heran. Sebenarnya mereka ini benci apa cinta ? 😂

Yang bikin susah adalah ketika saya membicarakan hal ini ke orang lain, mencoba membuka pemikiran mereka akan hal ini, takutnya malah saya yang kena imbasnya, masih mending kalau saya hanya dikatain Kafir dan dicap sebagai penista agama, kalau saya sampai masuk penjara ? Lihat saja Ahok.

Pertanyaan terakhir saya adalah, "Apa benar bahwasanya Perpetual Conflicts dalam agama merupakan bagian dari agama tersebut ? Agama yang sering Self-Proclaimed sebagai agama damai ?"

Mungkin.


Regards NonBeliever

Komentar

Postingan Populer