Moralitas, Objektif atau Subjektif? Pandangan Seorang Agnostik-Ateis Mengenai Moralitas

Moralitas, sebuah kata yang seringkali menimbulkan perdebatan. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terkait moralitas, darimana datangnya, apa tolok ukurnya, dan bagaimana aplikasinya. Dalam KBBI sendiri disebutkan bahwa moralitas memiliki arti sebagai sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Definisi yang menurut saya cukup sempit untuk mendeskripsikan moralitas. Pada tulisan saya kali ini, saya akan sedikit membahas mengenai moralitas dari sudut pandang filsafat dan menjabarkan pandangan saya mengenai moralitas. Tidak berlama-lama, selamat membaca!

Jika kita membicarakan moral dalam ilmu filsafat maka terdapat 3 subjek pembahasan, yaitu:
  1. Metaethics: Subjek yang berfokus membahas mengenai definisi "moral" dan darimana datangnya.
  2. Normative ethics: Subjek yang berfokus membahas mengenai tolok ukur dan standar benar-salah.
  3. Applied ethics: Subjek yang berfokus membahas mengenai isu-isu kontroversional seperti Animal rights, aborsi, seks diluar nikah, perang nuklir, dan hukuman mati.
Dari ketiga subjek pembahasan diatas, saya hanya akan membahas mengenai subjek Methaetics. Dalam subjek tersebut, moral cenderung dibagi dan diartikan atas dua bagian yaitu 1. Objektif yang mana menyatakan bahwasanya moralitas merupakan sebuah fakta dan kehadirannya tidak dapat diganggu gugat dan 2. Relatif yang mana menyatakan bahwasanya moralitas hanyalah sebuah opini. Kita ambil contoh, agama-agama Abrahamik mendefinisikan moralitas sebagai produk dari Tuhan yang bernilai sebagai sebuah fakta dan bersifat objektif, sebanding dengan hukum-hukum sains, sedangkan moralitas dari suku bangsa tertentu bersifat sebaliknya karena ia hadir sebagai produk budaya yang hanya hadir dalam komunitas suku bangsa tersebut.

Lalu, bagaimana pendapat penulis mengenai pembagian tersebut? Dimanakah posisi penulis? Apakah penulis berpendapat bahwasanya moralitas itu bersifat Objektif? Atau sebaliknya? Mungkin pertanyaan tersebut muncul dalam benak para pembaca sekalian. Dan saya akan menjawab dengan lantang bahwasanya kedua bentuk moralitas diatas adalah benar adanya. Moralitas hadir dalam dua bentuk yaitu objektif dan juga relatif, ia hadir sebagai sebuah fakta dan ia juga bersifat relatif dalam beberapa kondisi tertentu.

Sebelum melanjutkan lebih jauh perlu diketahui bersama bahwasanya kata-kata seperti baik-buruk, benar-salah, seharusnya-tidak, etis-tidak, bermoral-tidak, sama sekali tidak berarti tanpa memiliki acuan atau tolok-ukur. Untuk bisa memahami hal ini lebih lanjut mungkin teman-teman bisa menanyakan pertanyaan ini ke diri sendiri, "apakah memukul wajah orang merupakan tindakan yang benar dan wajar ?" Tentu teman-teman akan menjawab "tidak". Lalu bagaimana jika pertanyaan tersebut saya ubah menjadi "apakah memukul wajah orang saat pertandingan tinju merupakan tindakan yang benar dan wajar ?" Tentu saja jawabannya "iya". Itulah mengapa sebuah acuan dan tolok ukur merupakan hal penting disini, karena kita tidak bisa menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa memiliki acuan dan tolok-ukur.

Objektif, apa itu objektif ?

Menurut saya, disini objektif dibagi menjadi dua konsep pemikiran, yaitu objektifitas saintifik dan filosofis. Saintis dan kebanyakan filsuf cenderung memahami objektifitas dan subjektifitas layaknya fakta dan opini, maka dari itu dapat dipahami bahwasanya sebuah pernyataan objektif adalah "sebuah fakta yang mana tidak terpengaruh sama sekali dengan perasaan pribadi, bias, dan atau interpretasi diri (dan cenderung bisa di verifikasi kebenarannya)". Sedangkan beberapa filsuf serta orang-orang religius cenderung memandang bahwasanya hubungan antara objektifitas dan subjektifitas layaknya dua hal yaitu "terlepas dari subjeknya" dan "terikat dengan subjeknya", dan dari situ dapat dipahami bahwasnya pernyataan objektif adalah "pernyataan yang tidak terikat oleh subjek".

Dari dua definisi mengenai objektifitas di atas, orang-orang kerap kali mencampurkan keduanya dan menjadi kebingungan, terutama jika sedang membahas mengenai moralitas. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami hal ini, cobalah untuk menanyakan pada diri sendiri "apakah aktifitas yang anda lakukan sekarang, yaitu berpikir, adalah objektif?" Berpikir adalah suatu aktifitas yang dapat kita ukur, kita simpulkan dan kita verifakasi kebenarannya, dimana berpikir secara pasti akan bersifat objektif, mungkin itu yang ada di dalam pikiran kalian ketika menjawab dengan "ya", dalam hal ini kalian menjawab dengan definisi objektif secara saintifik. Akan tetapi jika kalian menggunakan definisi secara filosofis, maka kalian pasti akan menjawab pertanyaan diatas dengan jawaban "tidak". Hal tersebut dikarenakan untuk menjadi objektif maka suatu aktifitas (dalam kasus ini berpikir) tidak boleh terikat oleh subjek, sedangkan hal ini tidak mungkin terjadi karena kegiatan berpikir tentu saja harus terikat dengan subjek (diri pribadi), bagaimana mungkin proses berpikir dapat berlangsung jika diri atau otak kalian tidak ada? Yang jadi permasalahannya adalah, kebanyakan orang menafsirkan bahwasanya moralitas adalah subjektif secara filosofis, maka dari itu moralitas juga pasti subjektif secara saintifik, hal tersebut tentu saja sangat keliru.

Logika guillotine


Sebelum saya menjelaskan pandangan saya mengenai moralitas, saya akan sedikit menyampaikan pemikiran filsuf asal Skotlandia bernama David Hume mengenai alat guillotine. Hume berpendapat bahwasnya kebanyakan orang membuat pernyataan mengenai "apa yang sebaiknya dilakukan" hanya berdasarkan "apa yang sudah ada". Kebanyakan orang terus mencoba untuk mencari konklusi preskriptif dari fakta-fakta yang bersifat deskriptif. Untuk lebih jelasnya, cobalah untuk memahami argumen yang terlihat benar (padahal tidak) ini.
  • Premis 1:  Manusia kemungkingan besar akan mati ketika digantung.
  • Premis 2:  Abdul adalah seorang manusia.
  • Konklusi: Kita seharusnya tidak menggantung Abdul.
Argumen di atas terlihat seperti argumen yang valid, akan tetapi sebenarnya argumen diatas tidaklah logis. Argumen diatas mengandung Logical Fallacy berupa non-sequitur argument. Non-sequitur argument adalah sebuah logical fallacy yang mana terjadi jika konklusi yang dihasilkan tidak sejalan secara logis dengan premis-premisnya, meskipun kedua premisnya bersifat benar. Tentu saja kedua premisnya bernilai benar, manusia kemungkinan besar akan mati ketika digantung dan Abdul adalah manusia, akan tetapi darimana kita bisa menyimpulkan bahwasanya kita tidak seharusnya menggantung Abdul?

Dari pemikiran David Hume ini dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya kita tidak boleh menarik kesimpulan mengenai moralitas hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada, kita harus benar-benar menganalisanya untuk menentukan mana yang bermoral dan mana yang tidak. Dari beberapa penjelasan diatas, saya harap kalian semua akan dapat memahami mengenai pemahaman saya mengenai moralitas, apakah moralitas bersifat objektif atau subjektif, pada bagian selanjutnya.

Moralitas, objektif atau subjektif?

Menurut saya, moralitas dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu moralitas absolut dan moralitas nisbi. 1. Moralitas absolut adalah moralitas yang mana sudah ada dengan sendirinya, tanpa intervensi apapun, dan hasil evolusi secara alami. Contoh dari moralitas ini adalah petanyaan mengenai "Apakah saya layak hidup dan apakah saya bermoral ketika bernafas?" Saya secara yakin menjawab akitfitas yang ada dalam pernyataan tersebut sebagai aktifitas bermoral, sudah sangat wajar ketika saya dan teman-teman sekalian bernafas, kita tidak bisa menolak untuk bernafas, kita akan mati ketika kita tidak bernafas, hal tersebut merupakan fakta-fakta absolut dan bukan asumsi pribadi kita, kita secara alami melakukannya, dan tentu saja dapat di verifikasi secara objektif melalui pendekatan-pendekatan saintifik. 2. Moralitas nisbi adalah moralitas yang didasarkan pada moralitas absolut dan satu atau beberapa pernyataan. Oleh karena didasarka pada moralitas absolut dan satu atau beberapa pernyataan tambahan yang mana bisa saja bernilai benar atau salah, maka begitu juga moralitas nisbi ini. Untuk memahami hal ini lebih lanjut, saya akan memberikan sedikit gambaran dengan dua pernyataan dibawah ini.
  • Pernyataan 1: Anak saya harus mendapat imunisasi.
  • Pernyataan 2: Anak saya harus disunat.
Manakah dari dua pernyataan diatas yang bernilai benar dan lebih bermoral? Untuk menemukan jawabannya kita harus melihat konteksnya secara keseluruhan. Tidak seperti moralitas absolut, moralitas nisbi harus bergantung pada premis-premis yang mendukungnya, dan dari dua pernyataan diatas, keduanya sama-sama bergantung pada moralitas absolut yang sama dimana "Saya harus melindungi anak saya dari kemungkinan merasa menderita." Maka dari itu, secara silogistik keduanya membentuk sebuah argumen baru, yaitu:
  • Argumen Pertama:
    • Premis 1:  Saya harus melindungi anak saya dari kemungkinan merasa menderita.
    • Premis 2:  Imunisasi dapat mengurangi kemungkinan anak saya untuk menderita.
    • Konklusi: Anak saya harus mendapat imunisasi.
  • Argumen Kedua:
    • Premis 1:  Saya harus melindungi anak saya dari kemungkinan merasa menderita.
    • Premis 2:  Sunat dapat mengurangi kemungkinan anak saya untuk menderita.
    • Konklusi: Anak saya harus disunat.
Dua argumen diatas bernilai benar karena keduanya sama-sama sejalan dengan kedua premisnya, namun hanya argumen pertama yang memiliki konklusi lebih bermoral dibandingkan argumen kedua. Hal ini disebabkan karena premis kedua dari argumen pertama telah dibuktikan kebenarannya secara saintifik, hal ini berbanding terbalik dengan premis kedua dari argumen kedua yang mana belum dapat dibuktikan kebenarannya secara saintifik.

Sebelum mengakhiri artikel kali ini, saya harap teman-teman memahami apa yang telah saya sampaikan, sehingga teman-teman dapat memahami pandangan saya mengenai moralitas, dan mungkin dapat membuka peluang diskusi bagi kita. Sebagai tambahan, saya tidak percaya bahwa membunuh sudah pasti salah secara moral, saya tidak pernah mempercayai konsep moralitas seperti itu, saya yakin bahwasanya tidak ada hukum objektif yang bersifat transenden yang mana harus selalu kita taati. Akan tetapi saya percaya bahwasanya kita terlahir dengan standar moralitas absolut, dimana dari standar moralitas absolut dan pernyataan-pernyataan tambahan inilah kita dapat membuat standar moralitas-moralitas nisbi, dan oleh karena pernyataan-pernyataan tersebut belum tentu benar maka begitu juga moralitas-moralitas nisbi yang kita ciptakan.


Best Regards
NonBeliever

Komentar

Postingan Populer